Syahadat Tauhid Dalam Tafsir Bahasa
‘La’ yang terdapat dalam kalimat “La Ilaha Illa al-Allah” adalah huruf “la” nâfiyata li al-jinsi (huruf yang menafikan segala macam jenis). Dalam kalimat di atas, yang dinafikan adalah kata “ilah” (sesembahan). Kata “ilah” berbentuk isim nakirah dan isim al-jins. Kata “illa” adalah huruf istisna’ (pengecualian) yang mengecualikan Allah dari segala macam jenis “ilah”. Bentuk kalimat semacam ini adalah kalimat manfiy (negatif) lawan dari kalimat mutsbat (positif). Kata “illa” berfungsi mengitsbatkan kalimat manfiy (negatif).
Dalam kaedah bahasa Arab, itsbat sesudah manfiy bermakna al-hasr (membatasi) dan al-ta’kid (menguatkan). Oleh karena itu, makna kalimat “La ilaha illa al-Allah” adalah tiada ilah (sesembahan) yang benar-benar berhak disebut ilah (sesembahan) kecuali Allah SWT.
Konsekuensi Dari Syadahat Tauhid
Beberapa ayat al-Qur’an telah mendukung pengertian di atas. Allah SWT berfirman:
“Katakanlah: Aku berlindung kepada Tuhan manusia, yang menguasai manusia, sesembahan manusia…” (Qs. an-Nâs [114]: 1-3).
“Ataukah mereka mempunyai ilah (sesembahan) selain Allah?” (Qs. ath-Thûr [52]: 43).
“Sesungguhnya kafirlah orang-orang yang mengatakan: ‘Bahwasanya Allah salah satu dari yang tiga’, padahal sekali-kali tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Tuhan Yang Esa. Jika mereka tidak berhenti dari apa yang mereka katakan itu, pasti orang-orang yang kafir di antara mereka akan ditimpa siksaan yang pedih.” (Qs. al-Mâ’idah [5]: 73).
Ayat-ayat ini menunjukkan dengan jelas, bahwa sesembahan yang hakiki hanyalah Allah SWT. Kita diperintahkan untuk mengingkari semua sesembahan (ilah) selain Allah. Ini ditunjukkan dengan sangat jelas pada ayat lain, yakni tatkala Nabi Ibrahim mengingkari semua sesembahan yang telah disembah oleh kaumnya.
Allah SWT berfirman:
“Dan ingatlah tatkala Ibrahim berkata kepada bapak dan kaumnya, ‘Sesungguhnya aku melepaskan diri dari segala apa yang kamu sembah, kecuali Allah saja Tuhan yang telah menciptakan aku, karena hanya Dia yang akan menunjukkiku (kepada jalan kebenaran).” (Qs. az-Zukhruf [43]: 26-27).
Di ayat lain, Allah SWT juga menjelaskan dengan sangat jelas, tentang sesembahan-sesembahan selain Allah SWT. Setelah itu, manusia diperintahkan untuk mengingkari sesembahan tersebut. Allah SWT berfirman:
“Mereka menjadikan orang-orang alimnya, dan rahib-rahib mereka sebagai tuhan selain Allah, dan (juga mereka mempertuhankan) Al Masih putera Maryam; padahal mereka hanya disuruh menyembah Tuhan Yang Maha Esa; tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia. Maha Suci Allah dari apa yang mereka persekutukan.” (Qs. at-Taubah [9]: 31).
“Dan di antara manusia ada orang-orang yang menyembah tandingan-tandingan selain Allah; mereka mencintainya sebagaimana mereka mencintai Allah. Adapun orang-orang yang beriman sangat cinta kepada Allah. Dan jika seandainya orang-orang yang berbuat zalim itu mengetahui ketika mereka melihat siksa (pada hari kiamat), bahwa kekuatan itu kepunyaan Allah semuanya dan bahwa Allah amat berat siksaan-Nya (niscaya mereka menyesal).” (Qs. al-Baqarah [2]: 165).
Surat at-Taubah [9]: 31 ini menunjukkan bahwa ahli Kitab telah menjadikan rahib-rahib dan pendeta (orang alim) mereka sebagai sesembahan. Padahal mereka hanya diperintahkan untuk menyembah kepada Ilah Yang Satu (Allah SWT). Maksud dari “menyembah rahib-rahib dan pendeta-pendeta di sini”adalah, mematuhi orang-orang alim dan rahib-rahib dalam tindakan mereka yang bertentangan dengan hukum-hukum Allah SWT. Meskipun, secara dzahir kaum ahlu al-kitab tidaklah menyembah alim-ulama mereka. Berdasarkan ayat ini, pengertian La ilaha illa al-Allah dan tauhid adalah pemurnian ketaatan kepada Allah dengan menghalalkan apa yang dihalalkan Allah dan mengharamkan apa yang diharamkan Allah. Yakni, hanya mengakui bahwa Allah SWT semata yang berhak menetapkan hukum, bukan manusia. Allah SWT berfirman:
“Katakanlah: ‘Sesungguhnya aku (berada) di atas hujjah yang nyata (al-Qur’an) dari Tuhanku sedang kamu mendustakannya. Bukanlah wewenangku (untuk menurunkan azab) yang kamu tuntut untuk disegerakan kedatangannya. Menetapkan hukum itu hanyalah hak Allah. Dia menerangkan yang sebenarnya dan Dia Pemberi keputusan yang paling baik’.” (Qs. al-An’âm [6]: 57).
Rasulullah Saw bersabda:
“Barangsiapa mengucapkan La Ilaha Illa al-Allah dan mengingkari sesembahan selain Allah, haramlah harta dan darahnya, sedangkan hisab (perhitungannya) adalah terserah kepada Allah.”
Hadits ini juga menjelaskan dengan sangat tegas bahwa yang menjadi pelindung atas harta dan darah seseorang, bukan sekedar ia mengucapkan La ilaha Illa al-Allah, bukan pula mengerti makna dan lafadznya, juga bukan sekedar tidak meminta kepada selain Allah, akan tetapi ia harus menambahkan “pengingkaran kepada sesembahan-sesembahan (ilah)” selain Allah SWT dengan tiada keraguan. Jika masih ada keraguan, harta dan darahnya belum terpelihara.
Tiada ulasan:
Catat Ulasan